Jumat, 11 Maret 2011

PERANG TINJA DI UTARA BATAVIA

Jumat, 11 Maret 2011

Sepenggal kisah lucu yang terlupakan dari peristiwa invasi militer Mataram ke Batavia



Matahari siang menyengat garang di kawasan Kota, Jakarta Utara. Beberapa pedagang asongan terlihat lesu, berkumpul tanpa bicara. Di seberang sebuah gereja tua peninggalan Portugis, seorang pedagang sirup buah lontar tengah sibuk melayani tiga pembelinya: dua anak muda dan seorang tua bertopi bisbol. Karena tak kuat menahan rasa dahaga, saya memutuskan untuk jadi pembeli yang keempat.

”Panas sekali hari ini ya,Pak,”ujar saya seraya mengecek kembali kamera yang ada di dalam tas saya. Maklum, kawasan kota selain panasnya juga terkenal dengan copet dan penjambretnya yang ”cerdik” luar biasa.

”Tidak hari ini aja kali,Bang,”jawab si pedagang sirup.Saya tersenyum, menyadari pernyataan yang barusan saya ucapkan. Basa-basi yang bodoh.

Beberapa menit kemudian, segelas air buah lontar singgah ke tangan saya. Sambil menikmati segarnya sirup yang daunnya kerap dijadikan ”kertas” di era raja-raja kuno masih berkuasa di Nusantara itu, mata saya tak henti mengagumi situasi sekitar: gereja tua, orang lalu-lalang dan mobil-mobil buatan Jepang yang mengeluarkan asap karbonmonoksida. Siapa nyana tempat ini dulu pernah berdarah-darah?

Menurut Dr.F.De Haan, Kerajaan Mataram pernah dua kali menggempur Batavia.Yakni pada 1628 dan 1629. Dengan total kekuatan 24.000 serdadu Mataram berusaha menguasai Batavia (yang saat itu meliputi kawasan Kota dan sekitarnya). ”Di bawah pimpinan Tumenggung Bahurekso, operasi militer mereka kendalikan dari kawasan Marunda,”tulis De Haan dalam Oud Batavia.

Saat penyerangan terjadi, di beberapa titik kota terjadi pertempuran satu lawan satu yang sangat seru dan heroik bagi kedua pihak. Salah satu pertempuran yang paling ”kejam dan lucu” terjadi di sekitar kawasan Benteng Tepi Selatan VOC, yang saat ini menjadi tempat saya sedang menyantap sirup buah lontar.

Dalam Historical Sites of Jakarta, Adolf Heuken menyitir sebuah kisah berbahasa Jerman yang diambilnya dari tulisan Johan Neuhoff berjudul. Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Nederlaendern an den Tatarischen Cham, yang diterjemahkan dari naskah Belanda 1666. Tulisan itu menceritakan sebuah bataliyon VOC yang nyaris hancur lebur oleh serangan bergelombang para prajurit Mataram. Di tengah krisis makanan dan amunisi serta keadaan moril yang runtuh, tiba-tiba seorang tentara bayaran asal Pfalz, Jerman bernama Sersan Hans Madelijn mendapat ilham untuk membuat sebuah siasat gila. Ia memerintahkan pasukannya untuk menyiramkan (maaf) tinja kepada pasukan Kerajaan Mataram yang berusaha memanjat tembok benteng.

Demi mendapat "serangan aneh dan menjijikan" itu, para prajurit tempur Mataram kontan berloncatan dan lari lintang pukang. Dengan menutupi hidung, mereka menghindari Benteng Selatan seraya menggerutu marah: "O seytang orang Ollanda de bakkalay samma tay!" Sebuah ungkapan bahasa Melayu kuno yang artinya “Dasar Setan, orang-orang Belanda itu berkelahi pakai (maaf) tahi!”

"Dari peristiwa itu, untuk pertama kali kata-kata Melayu tercatat dalam buku berbahasa Jerman," kata Heuken.

Matahari siang menyengat garang di kawasan Kota, Jakarta Utara. Beberapa pedagang asongan terlihat lesu, berkumpul tanpa bicara. Namun di seberang sebuah gereja tua peninggalan Portugis, seorang pedagang sirup buah lontar justru masih saja tertawa-tawa, meskipun saya sudah selesai bercerita. (hendijo) Read More..

Minggu, 03 Januari 2010

Prajurit Arab di Sarang Prancis

Minggu, 03 Januari 2010

Sebuah cermin omong kosong Prancis terhadap motto kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan,yang sering mereka banggakan pada seluruh dunia.



Indigenes (Days of Glory)
Prancis,2006
Pemain: Roschdy Zem, Samy Naceri, Jamel Debbouze,
Sami Bouajila, Bernard Blancan
Sutradara: Rachid Bouchareb


Januari 1945.Sekelompok serdadu Prancis (sebagian besar berkebangsaan Arab Muslim) mendapat tugas untuk membantu gerak pasukan Amerika yang sedang menghadapi pasukan Nazi Jerman di Alsace. Namun malang, di sebuah kawasan hutan bersalju, sebuah ranjau darat meledak.Akibatnya korban berjatuhan: 4 tewas dan pimpinan regu Sersan Roger Martinez (Bernard Blancan) terluka parah.

Dalam keadaan kritis tersebut, Sersan Roger menyerahkan tampuk komando kepada Kopral Abdelkadir (Sami Bouajila). “Sekarang kau memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan apakah kita akan terus bergerak demi orang-orang Amerika itu atau mundur,”ujar sang Sersan.

Lantas apa yang dilakukan oleh Abdelkadir? Dengan meminggirkan rasa jengkelnya terhadap sang Sersan Prancis yang pernah ditantangnya berkelahi (gara-gara prilaku rasis pimpinan-pimpinan pasukan Prancis), Abdelkadir justru memilih untuk jalan terus.

Tapi alih-alih setuju, 3 serdadu Arab lainnya malah menolaknya mentah-mentah. Mereka berkilah dengan berbagai alasan: mulai soal amunisi yang berkurang hingga kekapokan mereka untuk berjuang demi para penjajah negeri mereka.

“Cukup sudah hanya Larbi yang mati untuk Prancis!”teriak Yassir (Samy Naceri) sambil menyebut nama sang adik yang menjadi salah satu korban ledakan ranjau tersebut.

Terjadilah perdebatan kecil. Sebagai sosok serdadu “kutu buku” yang disiplin, Abdelkadir tetap memilih untuk mematuhi perintah awal.”Ada apa dengan kalian? Andaikan 10 atau 100 kali lipat terjadi hal seperti ini,akan kubayar? Tidakkah kalian mengerti? Apa yang kita lakukan hari ini, menentukan pandangan orang-orang Prancis terhadap kita!” Ya sebagai pengecut atau pemberani?

Indigens memang banyak mengaduk-aduk sisi kelam psikologis anak-anak muda Arab yang bergabung dengan pasukan Prancis. Alih-alih diperlakukan sebagai patriot, mereka justru harus banyak bergelut dengan sikap diskriminatif, rasis (terbukti dengan banyak berhamburannya kata “Si Arab”, “Si Muslim” dari mulut orang-orang Frank itu) dan superioritas kolega-kolega Prancisnya di kesatuan tentara. Itu jelas sebuah ironi, mengingat Prancis selama ini kadung dikenang sebagai pengusung liberte,egalite,fraternite (kebebasan,kesetaraan dan persaudaraan).


Bahkan seolah ingin lebih memperjelas wajah arogansi imperialismenya,pada 1959 secara sewenang-wenang pemerintah Prancis membekukan undang-undang yang mengatur pemberian uang pensiun mantan anggota militer yang datang dari dari bekas koloni-koloninya. Tak ada yang bisa menghentikan keputusan itu, termasuk Uni Eropa yang pada 2002 menghimbau Prancis untuk membayar secara penuh hasil keringat dan darah mantan para prajuritnya.

Secara pribadi, saya merekomendasikan film ini untuk ditonton (terutama untuk manusia-manusia yang mengaku anti perang). Selain plot dan alurnya lumayan “renyah” (tidak seperti Apocalypse Now yang berat atau We Were Soldiers yang bertele-tele) juga dialognya lepas dan sarat makna. Simak saja kata-kata perkenalan khas serdadu saat bertemu dengan kawan barunya di garis depan:

“Said kau berasal dari mana?”

“Dari jurang kemiskinan…” jawab Said Otmari (Jamel Debbouze) yang memang datang dari sebuah keluarga Arab kere dan tinggal di lingkungan kumuh kota Aljazair.

Tak ada gading yang tak retak. Film yang menjadi nominasi Oscar dan juara Festival Cannes itu,tentu juga memiliki sisi lemah terutama dari sisi kostum dan alat. Ya memang tak berat sih, hanya di beberapa adegan. Misalnya truk militer yang dipakai tentara Prancis saat menyerbu Italia kok mirip US M35? Padahal kan truk jenis itu baru dipakai oleh serdadu Amerika saat berperang di Vietnam 20 tahun kemudian?

Tapi film ini secara keseluruhan memang bagus. Tak rugi saya mengeluarkan uang Rp.59.000 untuk membelinya dan menghabiskan malam pergantian tahun dengan menonton filem ini.Serius :).(hendijo) Read More..

Rabu, 05 Agustus 2009

CERITA DARI PUSAT BORNEO

Rabu, 05 Agustus 2009

Awal Januari yang lalu, saya mendapat kesempatan pergi ke Sampit,Kalimantan Tengah.Awalnya tujuan saya hanya melakukan liputan advetorial untuk Archipelago Magazine. Namun beberapa hal menarik perhatian saya. Terutama mengenai sejarah Sampit dan situasi masyarakatnya setelah lebih sewindu lepas dari konflik antara etnis. Sebagai jurnalis, terpikir tidak adil rasanya kalau saya melewatkannya dan tidak membaginya dengan anda.


Pukul 11.13 WIB. Di tengah cuaca cerah dan embusan angin yang sedikit kencang, pesawat jenis Boeing 737 milik Merpati Airline rute Surabaya-Sampit yang kami tumpangi mendarat mulus di landasan bandara udara H.Asan kota Sampit. Puluhan penumpang dengan teratur antri untuk keluar dari kabin pesawat. Beberapa diantaranya ribut bercakap dalam bahasa Indonesia logat Banjar. Sementara menunggu penumpang lain turun, usai wawancara saya ngobrol-ngobrol ringan dengan Kapten R.Arief Budiyanto (35) dan co pilot Kapten Sofwan Mujahid (40) di cockpit.

“Sampit ini memang kota kecil tapi bisa dibilang penting buat Kalimantan Tengah,”kata Arief Budiyanto.

“Pentingnya?” tanya saya.

“Ini kota bisnis,Mas. Ibarat Balikpapan untuk Kalimantan Timur,”ujar pilot muda kelahiran Cirebon itu.

Saya hanya mengangguk-anggukan kepala.Informasi itu sebenarnya sudah saya dapat jauh sebelum saya berangkat ke Sampit. Namun bagi sebagai besar orang di Jakarta tentunya informasi itu sedikit asing terdengar. Mereka hanya tahu Sampit adalah sebuah kota yang pernah banjir darah akibat konflik antara etnis.

Begitu lekangnya kesan itu, hingga salah seorang kawan lama saya saat kuliah dulu mengernyitkan dahinya waktu mendengar saya akan pergi ke Sampit. “Awas lu, hati-hati nanti salah-salah di sana kepala lu hilang lagi,”katanya. Saya hanya tersenyum saja mendengar peringatan basi itu. Dia pikir, hingga kini orang Dayak dan Madura masih bertempur hebat di sana. Satu contoh lagi dampak dari kemalasan membaca.

Dari Bandara H.Asan, kami bergerak ke sebuah hotel bintang dua (katanya itu hotel paling bagus di Sampit) di pusat kota. Sepanjang perjalanan, saya menyaksikan situasi kota yang jauh dari kesan bekas kawasan konflik: perkantoran yang tengah direnovasi, jalan-jalan yang terlihat bersih, bangunan-bangunan tinggi yang berfungsi sebagai sarang walet dan hilir mudiknya beberapa mobil mewah terbaru. Sangat jauh situasinya dengan Poso (bekas daerah konflik juga), yang beberapa waktu lalu pernah saya kunjungi.


Sam It, Sampit atau Sempit?

Sejarah Sampit memang memiliki banyak versi penafsiran. Banyak ahli sejarah mengatakan bahwa nama Sampit sebagai sebuah kerajaan sesungguhnya sudah ada saat Mahapatih Gajah Mada melakukan ekspedisi militer ke Tanjungnegara (Borneo atau Kalimantan) pada 1350-an. Bukti itu termaktub dalam kitab Nagara Kartagama.Di dalam buku karya Empu Prapanca itu disebutkan bahwa Sampit adalah salah satu kawasan taklukan Gajah Mada di Tanjungnegara selain Kapuas-Katingan, Kotawaringin, Sambas,Kota Unga, Lawai dan Kutai .

Lain Empu Prapanca, lain juga Wahyudi Kaspul Anwar. Kepada saya, Bupati Kotawaringin Timur itu menyatakan bahwa Sampit berasal dari gabungan 2 kata dalam bahasa Cina yakni sam (dua) dan it (satu). Itu merujuk kepada 21 orang Hokian yang datang ke kawasan di tepi Sungai Mentaya pada 1840-an. “Mereka datang pertama kali ke sini untuk berniaga namun akhirnya mendirikan loji tetap di Sampit,”ujar Wahyudi, persis seperti yang ia tulis dalam Merajut Sampit dalam Persfektif Global.

Tidak serta merta saya percaya begitu saja dengan informasi sejarah tersebut. Pulang ke hotel, malamnya saya surfing di internet. Ternyata saya menemukan bantahan terhadap cerita versi Wahyudi tersebut. Dalam sebuah blog yang mempropagandakan pendirian provinsi Kotawaringin (http://propinsikotawaringin.blogspot.com), Drs. H. Madjedi bin Filmansyah menisbahkan nama Sampit justru kepada Datu Sampit. Itu nama seseorang yang berasal dari wilayah Bati-Bati, Kalimantan Selatan yang membuka hutan di kawasan Sungai Mentaya pada awal tahun 1800-an. Madjedi menguatkan anggapannya itu dengan menyodorkan bukti sejarah, makam Datu Sampit yang terletak di sekitar Basirih.

“Datu Sampit mempunyai dua orang anak yaitu almarhum Datu Djungkir dan Datu Usup Lamak. Makam keramat Datu Djungkir dapat ditemui di daerah pinggir Sungai Mentaya di Baamang Tengah, Sampit. Sedangkan makam Datu Usup Lamak berada di Basirih,”tulis lelaki yang mengaku masih merupakan keturunan ketiga dari Datu Sampit itu.

Seolah ingin meramaikan ajang saling klaim asal nama Sampit, di blog lain bahkan saya menemukan kata sampit berasal dari kata sempit. Lho,kok bisa? Bisa saja kalau kita mau mendengar versi lain soal asal muasal nama itu. Mau tahu? Begini ceritanya, tersebutlah salah seorang putera Sultan Musta’inbillah (1650 – 1672) dari Kesultanan Banjar bernama Panggeran Adipati Anta Kusuma. Pada 1670-an, ia memohon kepada ayahandanya untuk memimpin sebuah kawasan sendiri.

Permohonan panggeran yang hobi berpetualang itu dikabulkan oleh Sultan. Maka dengan sebuah perahu layar dan diiringi beberapa pengikutnya bergeraklah sang panggeran ke arah barat. Setelah perjalanan beberapa hari melewati Teluk Sebangau, Pagatan dan Mendawai,sampailah rombongan sang panggeran di sebuah muara sungai (sekarang Sungai Sampit).

Begitu menyaksikan kawasan subur itu, para pengikutnya bersorak dan menyarankan sang panggeran untuk mendirikan kerajaan baru di tempat itu saja. Alih-alih setuju, usai turun dan melihat situasi tempat tersebut, Panggeran Anta Kusuma malah sambil naik lagi ke perahu berucap: “Kawasan ini terlalu sempit,”katanya. Jadilah itu sebagai asal muasal nama kota Sampit sekarang ini.

Mana yang sahih? Saya sendiri belum berani memilih salah satu pendapat tersebut. Terlebih hingga kini belum ada satu ahli sejarah pun yang coba meneliti keabsahan beberapa kisah di atas. Namun soal Sampit pernah dijadikan pusat pengolahan kayu terbesar di Asia Tenggara pada era Hindia Belanda, bisa jadi itu betul. Sebab ketika mengunjungi Taman Kota, di sana saya melihat sendiri sebuah pabrik tempat pengolahan kayu yang lumayan besar.

Tapi ada satu cerita unik terkait soal sejarah Sampit tersebut. Zul (34) –sopir local yang menyertai kami selama di Sampit-- berujar bahwa dulu Sampit itu adalah sebuah kesultanan otonom. Tidak masuk Tanjungnegara.Tidak juga masuk Kerajaan Kotawaringin. Wah,versi sejarah mana lagi ini? Pikir saya. “Abang pasti tidak percaya kalau kami dulu pernah punya bendera kebangsaan sendiri?”

Saya hanya tersenyum mendengar pertanyaannya (lebih tepat pernyataan sepertinya) itu. Untunglah ia tidak meneruskan informasi yang sebenarnya menarik itu, karena perhatian kami lebih tertuju ke kedai-kedai makanan yang berjejer sekitar Taman Kota.

Tapi dasar saya yang selalu penasaran. Sampai di hotel saya langsung bertanya kepada perangkat pintar bernama Google. Saya ketik di mesin pencari: sampit flag. Hasilnya sebuah situs bernama www.crwflags.com mengantarkan ke pandangan mata saya 4 gambar bendera yang di atasnya tertulis: Sampit Sultanate!


Trauma Konflik

Masyarakat Indonesia (bahkan dunia), mengenal kata Sampit sebagai tempat yang identik dengan konflik. Saya sendiri baru percaya setelah menyaksikan hasil pencarian kata sampit di Google. Hampir dipastikan dari 857.000 file sebagian besar berhubungan dengan berita konflik 8 tahun lalu itu. Begitu juga saat saya membuat “survey” (kan lagi musimnya nih) kecil-kecilan di lingkungan rumah saya. Saya tanya: apa yang mereka tahu tentang Sampit? Dari 11 tetangga dan saudara yang saya tanya, 9 diantaranya menjawab konflik etnis , seorang bilang nanasnya yang gede-gede dan seorang lagi bilang tidak tahu (ini yang parah karena orang ini mahasiswa).

Soal kesan miring tersebut, sempat saya tanyakan kepada Bupati Kotawaringin Timur secara langsung. Reaksinya? Wajahnya berubah murung (lebih condong ke kesal sepertinya) seraya berkata: “Sebenarnya saya tidak suka bahas itu lagi ya? Tolong jangan disebut-sebut lagi karena itu bagi kami masa lalu yang harus cepat dilupakan,”katanya.

Sikap traumatik terhadap masa lalu ternyata bukan hanya milik Pak Bupati semata. Itu dibuktikan saat suatu pagi saya sengaja jalan-jalan ke Baamang, sebuah kawasan di tepi Sungai Mentaya yang merupakan medan pertempuran paling sadis saat konflik dulu.Begitu sadisnya, hingga konon ratusan mayat tanpa kepala mengambang di Sungai Mentaya waktu itu.

“Kalau lagi surut di bawah Hotel Asoka itu, Abang bisa lihat banyak tengkorak berserakan,”kata Zul sambil menunjuk sebuah bangunan suram di pinggir Sungai Mentaya.

Dan memang, saat saya ke sana, tak seorang pun mau menjawab secara gamblang pertanyaan saya sekitar kejadian 8 tahun lalu itu. Kalaupun ada yang mau saya ajak ngobrol, mereka rata-rata menjawab seperlunya saja. Barulah ketika saya bilang saya wartawan dari Jakarta mereka sedikit terbuka.Terlebih saat ngobrol saya mencoba santai saja, tak memfokuskan obrolan ke arah konflik masa lalu.

Salah seorang pemuda yang mau saya ajak ngobrol bernama Fadli (27). Tingginya sekitar 160 cm, dengan perawakan kekar dan kulit legam. Saat konflik berkecamuk,ia adalah remaja berumur 19 tahun yang tengah bandel-bandelnya. Kepada saya, ia cerita saat pertempuran pertama pecah di kawasan Sarigading sekitar akhir Februari 2001 itu, dengan mandau di pinggang ia mendaftarkan diri untuk “dimandikan” di Hotel Asoka.

Istilah dimandikan mengacu kepada upacara pemberkatan sebelum berangkat perang. Biasanya calon prajurit Dayak diguyur kepalanya dengan air yang sudah diberi mantera-mantera oleh para dukun. Hasilnya mereka akan menjadi ganas laiknya harimau lapar. “Waktu bertempur, istilah takut itu seolah sudah hilang dari kepala saya,”ujar lelaki Dayak Banjar itu seraya memperlihatkan dua bekas goresan bekas luka bacok di perut sebelah kirinya. Lalu apa yang didapatkannya usai konflik?

“Rasa sesal. Apalagi ketika baru-baru konflik berakhir, setiap hari saya selalu merasa dikejar arwah orang-orang yang mungkin sudah saya bunuh,”katanya pelan seraya pandangannya jauh menerawang.Seolah ingin menembus air Sungai Mentaya yang berwarna abu-abu kecoklatan.

Rasa trauma yang paling mendalam bisa jadi dialami oleh Badrodin (umurnya sekitar 40-an)—bukan nama sebenarnya--,seorang tukang sate Madura. Begitu traumanya, hingga di spanduk depan dagangannya ia tidak menyebut kata madura di belakang kata sate,laiknya di kota-kota lain.

Menurut Zul, konon hampir semua tukang sate madura di Sampit, sejak konflik 2001, memilih untuk tidak menulis kata madura di spanduk dagangannya. Jadi wajar,jika pedagang sate yang biasa mangkal di sekitar kawasan hotel ternama di Sampit itu mendadak gagu saat secara hati-hati saya bertanya kondisi masyarakat Madura pasca konflik. Pun ketika saya membayar sate yang saya santap , mulutnya seolah masih terkunci rapat.


Kota Bisnis

Kondisi traumatik akibat konflik ternyata tidak dapat membunuh Sampit dan wilayah-wilayah lain di Kotawaringin Timur (Kotim). Alih-alih hancur, saat ini Kotim memiliki PDRB (Produk Domestic Regional Bruto) paling besar di Kalimantan Tengah. Tentunya banyak yang terkejut dengan kemajuan itu. Terlebih jika melihat data yang dikeluarkan pemerintah setempat pasca konflik, Kotim mengalami kerugian ekonomi hingga 17,5 milyar rupiah. Belum kerusakan tempat tinggal yang mencapai jumlah 1192 dan korban jiwa hingga 400-an orang.

Namun setahun sesudah konflik itu terjadi (2002), alih-alih loyo, Kotim justru bermatamorfosis menjadi kekuatan ekonomi baru di Kalimantan Tengah. Itu mengacu kepada upaya berbagai pembangunan dan eksplorasi sumber daya alam yang dilakukan pasca kerusuhan yang meningkat tajam.Sebut saja salah satunya adalah booming perkebunan sawit.

Komoditas kelapa sawit tersebut banyak diproduksi di Kecamatan Mentaya Hulu, Parenggean, dan Cempaga. Sedangkan karet yang juga banyak diolah untuk dijadikan souvenir khas Kalimantan itu banyak ditanam di Kecamatan Cempaga, Kota Besi, Mentaya Hulu, dan Parenggean.

Salah satu asset yang tak kalah penting di Kotim adalah burung walet. Hampir di setiap sudut kawasan Sampit dan Samuda terdapat ribuan bangunan tinggi yang berfungsi sebagai peternakan walet.Menurut H.A. Sulai saat ini ada sekitar 150 pengusaha burung wallet yang bertebaran di seluruh Kotim. “Namun kurang terkoordinasi secara baik,”ujar pengusaha yang memiliki 8 penangkaran burung wallet itu.
Maraknya penduduk Kotim yang berbisnis sarang wallet itu,jelas mendongkrak pertumbuhan ekonomi di sana. Mengapa? Karena harga sarang kaya gizi itu termasuk fantastis: antara Rp.10-juta-12 juta/kg. Konon sarang wallet yang dihasilkan dari Sampit dan Samuda diekspor ke beberapa negara Asia Timur seperti Jepang, Cina dan Hongkong.

Potensi ekonomi Kotim terdapat pula di laut dan wilayah pesisir. Salah satu kawasan yang banyak dikunjungi para turis adalah Ujung Pandaran, sebuah pantai berpasir putih dan jaraknya sekitar 85 km dari Sampit. Begitu juga dengan isi perut buminya yang menurut para ahli mengandung biji besi,emas, timah dan batu bara yang bermutu. Bisa jadi inilah maksud kalimat, Sampit (baca:Kotim) bagi Kalimantan Tengah ibarat Balikpapan untuk Kalimantan Timur. (HENDI JOHAR,FOTO:IMAN)
Read More..

KIDUNG SUNYI KAMPUNG PROKLAMASI


Rengasdengklok nyaris dilupakan orang. Padahal dari kampung di tepi Kali Citarum itu, awal perjalanan bangsa Indonesia dimulai.Kini alih-alih tersejahterakan, kemiskinan justru menjadi ciri sebagian besar warganya.


Di Rengasdengklok, Karawang, kesehjateraan berjalan tertatih-tatih. Lihat saja jalan utama di kecamatan itu, seluruhnya dipenuhi lubang menganga. Tengok juga kanan kiri sepanjang jalan, rumah-rumah bergaya sangat sederhana berderet dalam barisan tak beraturan. Sebagian malah masih ada yang menggunakan sirap sebagai pengganti genting. ” Kemiskinan memang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun di sini,”kata Sukendar (45), warga Desa Rengasdengklok Selatan.

Sukendar tidak sedang berseloroh. Dari sekitar 500 keluarga yang bermukim di sana bisa jadi hanya nol koma sekian persen yang bisa disebut tidak miskin. Itu wajar jika mengingat sebagian besar penduduknya tidak memiliki pekerjaan tetap. Selain sebagai pekerja serabutan, profesi penduduk Rengasdengklok rata-rata adalah petani dan pedagang kecil-kecilan.

”Namanya aja yang gede dalam sejarah, nyatanya mah di sini banyak orang melarat,”ujar Maja (30), juru kunci Monumen Perjuangan Rengasdengklok.

Maja benar. Rengasdengklok memang bukan nama kecil dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Jauh 64 tahun yang silam, para pemuda pimpinan Soekarni ”menculik” Soekarno-Hatta ke kawasan yang berjarak sekitar 85 kilometer dari Jakarta itu.

Dalam otobiografinya, Adam Malik, salah satu tokoh Prapatan 10, menyebut ”penculikan” itu adalah upaya darurat untuk memurnikan Soekarno-Hatta dari pengaruh Jepang. “Menurut hemat kami, mereka –Soekarno dan Hatta—terlalu mengandalkan proses pemindahan kekuasaan ke tangan Republik semata-mata hanya kepada good will dari pemerintahan militer Jepang,” tulis Adam Malik dalam Mengabdi Republik.

Prapatan 10, adalah nama kelompok pemuda yang bermarkas di Jalan Prapapatan 10 di Jakarta. Mereka dikenal sebagai kumpulan anak muda radikal yang disebut-sebut terpengaruh oleh pemikiran Tan Malaka dan Sutan Sjahrir,dua tokoh bangsa yang dikenal berpaham kiri.

Atas tuduhan sinis anak-anak muda Prapatan 10 itu, Soekarno dan Hatta tentu saja menolaknya mentah-mentah. Kepada Soekarni,pimpinan Prapapatan 10, dengan keras, Soekarno mengeritik para pemuda yang dinilainya berlaku grasa-grusu.”Tindakanmu salah, salah samasekali.Tidakah engkau dapat mengerti bahwa permainanmu ini akan menemui kegagalan? Aku tahu bagaimana kecintaanmu pada tanah air.Kuhargai semangatmu yang berkobar-kobar itu.Tapi hanya itu yang kau miliki.Engkau harus bijaksana dan berkepala dingin,”ujar Soekarno seperti yang ia tulis dalam Bung Karno,Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adam.

Akhirnya setelah melalui perdebatan sengit, Soekarno-Hatta sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dan segala sesuatunya tentang proklamasi itu, memang dimulai dari kampung kecil di pinggir Sungai Citarum tersebut.

Kini saksi bisu perdebatan yang melahirkan Indonesia itu masih hadir. Beberapa waktu yang lalu, saya dan fotografer Eko Yudha mengunjungi sebuah rumah tua milik mendiang Djiaw Kie Siong –seorang petani keturunan Cina. Rumah itu masih berdiri menyisakan dua kamar dan satu ruangan tamu. Kendati masih dirawat oleh Djiaw Kwin Moi (56) –cucu mendiang Djiaw Kie Siong—namun kondisi rumahnya sungguh sangat menyedihkan.

Bahkan begitu buruknya perawatan di sana, hingga pernah membuat Bung Hatta, dalam kunjungan terakhirnya pada 1974, terlihat sedih. “Saya ingat sekali Bung Hatta terpaku lama di ruangan tengah rumah ini, dia sepertinya sedih sekali,” kenang Kwin Moi.

Lantas sejauh mana peran pemerintah? Adakah mereka memberikan dana untuk perawatan setiap bulannya? “Nggak ada, perawatan rumah ini murni dari dana pribadi kami,” ujar perempuan yang sehari-hari berdagang makanan dan minuman di sebuah warung kecil.

Angin kering bulan Juni menghempas tembok relief monumen yang membatu. Di ujung jalan, Maja Si Juru Kunci tengah mengusir gerombolan kambing yang nekad akan memasuki kawasan Tugu Perjuangan Rengasdengklok. “Wuss! Wusss! Hussssss! Sieehhhh!” teriaknya mendesis.

Rengasdengklok bisa jadi adalah cermin kecil amnesia bangsa ini terhadap masa lalu mereka. Padahal selama mereka lupa akan asal usulnya, selama mereka tidak bisa menghargai jasa para pahlawannya, kesehjateraan di negeri ini akan selalu berjalan tertatih-tatih. Seperti Rengasdengklok di siang yang sunyi dan kering itu.(HENDI JOHARI)
Read More..

JALAN PANJANG PEREMPUAN MIRWALI


Dia adalah korban pemerkosaan massal atas nama adat. Namun di tengah rasa traumanya, dia justru memutuskan membalas semua yang pernah dialaminya dengan mendirikan sekolah. Harapan dia, ke depan laki-laki di desanya bisa lebih menghormati mahluk yang melahirkan mereka.

Pemandangan yang terjadi di Desa Mirwali (termasuk dalam kawasan Punjab Pakistan) 7 tahun lalu itu, lebih laik disebut kebiadaban dibanding sebuah pengadilan adat. Sejumlah lelaki kekar dengan diiringi sorak sorai ratusan orang, memerkosa seorang gadis berusia 30 tahun. Muchtar Mai, nama gadis itu, menjerit, mengiba dan memberontak. Namun alih-alih terbebaskan, tenaganya malah terkuras dan dia menjadi bulan-bulanan nafsu iblis para pemerkosanya.

Awalnya, Mai meminta maaf kepada pengadilan adat dan memohon mereka untuk membebaskan adik laki-lakinya. Saudara Mai yang baru berusia 12 tahun itu, telah dituduh melakukan pelecehan seks terhadap seorang gadis dari klan Mastoi, sebuah klan terpandang di Desa Mirwali. Bukannya pengampunan yang dia dapat, malah seorang laki-laki meneriakinya, ” Kesalahan adikmu harus ditebus dengan cara memerkosamu,” Maka terjadilah peristiwa di atas.

Usai diperkosa beramai-ramai, bagai sampah Mai dicampakan begitu saja di lapangan desa. Dengan kondisi setengah telanjang dan diiringi cemohan orang-orang desa, Mai tertatih-tatih meninggalkan arena pengadilan tersebut. Hanya satu hal yang dipikirkannya kala itu,”Aku harus mengakhiri hidupku,”ujarnya.

Penderitaan Mai semakin tak tertahankan, saat beberapa hari kemudian sebagian orang di desa Mirwali menyatakan adik laki-laki Mai sesungguhnya tak memiliki dosa apapun. Sebaliknya dia malah menjadi korban penculikan dan pelcehan seks --dengan cara disodomi—tiga laki-laki klan Mastoi. Digelarnya pengadilan itu ternyata tak lebih sebagai upaya kalangan klan Mastoi mengaburkan masalah.

Bebeberapa bulan kemudian, berita itu sampai ke telinga kalangan kelompok pembela perempuan di Pakistan, dan dilambungkan oleh mereka sebagai kasus pelanggaran HAM internasional. Berkat dorongan dunia pula, pemerintah Pakistan memproses secara cepat 14 laki-laki yang terlibat pemerkosaan massal itu. Hasilnya enam laki-laki dijatuhi hukuman mati, dan sisanya dibebaskan karena minim bukti. Sedangkan Mai berhak menerima uang ganti rugi sebesar $9400.

Mai kemudian menggunakan uang tersebut untuk mendirikan dua sekolah., satu untuk anak laki-laki dan satunya lagi untuk anak perempuan. Mengapa dia tidak menggunakan uang tersebut untuk pergi dari desa Mirwali dan memulai hidup baru di tempat lain? Ternyata nurani Mai tidak sampai hati untuk menggunakan uang itu demi kepentingannya pribadi,”Bila saya menggunakan uang itu untuk diri saya, bagaimana nasib anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan di desa ini?”katanya. Dengan didirikannya dua sekolah tersebut, Mai berharap pendidikan bisa merngubah prilaku laki-laki di Desa Mirwali.

Dua sekolah yang didirikan Mai memang terhitung masih sangat sederhana. Di sana sama sekali tak ditemukan meja, bangku terlebih penerangan listrik. Kendati demikian, anak-anak Desa Mirwali sangat senang bersekolah di tempat itu. Hingga kini jumlah murid yang belajar di sekolah Muchtar Mai berjumlah ratusan.

Kini Mai belajar banyak dari peristiwa pahit yang menimpa dirinya. Walau harus bergulat dengan trauma masa lalu yang sangat kelam, Muchtar menyatakan tidak akan pernah menyerah pada adat setempat yang selalu merugikan posisi perempuan. Apalagi menurut Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan pada 2004 saja sudah 176 perempuan Pakistan yang diperkosa secara massal. Sebanyak 151 orang bunuh diri karena menanggung malu. Dan tak satu pun pelakunya diadili. (Hendi Johari)
Read More..

Senin, 03 Agustus 2009

ORANG-ORANG POSO

Senin, 03 Agustus 2009


Kisah manusia-manusia yang terlibat perang atas nama agama.



Gelap baru saja berlalu. Dari arah Bukit Bambu – perkampungan orang Kristen di kawasan Poso Kota. Saya dan Victor Moronggo, 37 tahun, mengayunkan langkah menuju Sayo, perkampungan orang Islam di Poso Kota. “Hari ini saya ada janji penting di kota. Abdullah, sahabat saya, katanya mau antar saya ke sana,” kata laki-laki murah senyum itu.

Sampai di perbatasan antara Bukit Bambu dan Sayo, tiba-tiba Victor mengentikan langkah. Seorang laki-laki bersepeda motor menghampirinya. “Ke mana saja ngana? Kita so sampe di sini dari tadi,” kata laki-laki itu dalam nada sedikit kesal.

Mendengar “teguran” Abdullah, 36 tahun, Victor hanya tersenyum kecut. Setelah pamit sebentar kepada saya, ia langsung duduk di belakang anak muda berkulit agak legam itu. ”Sori. Jangan ngana marah le. Ayo!” Dan meluncurlah sepeda motor tua itu ke arah pusat kota.

Tujuh tahun lalu, pemandangan tersebut hampir tak mungkin terjadi di Poso. Mengapa? Karena saat itu Poso terbelah dalam dua kubu yang bertikai: orang Islam versus orang Kristen. Itulah salah satu konflik berdarah terbesar di Indonehttp://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6173077667125519957sia yang terjadi pada awal abad ke-21. Begitu besarnya, sehingga Brigjen Polisi Drs. Badrodin Haiti menganggap penyelesaian Poso bagi Polri akan menjadi prestasi besar.

“Karena, ini menyangkut masalah stabilitas nasional,” kata Kapolda Sulawesi Tengah tersebut.

Pemicu pertikaian itu sendiri sebenarnya bermula dari persoalan sepele. Seperti yang dituturkan oleh Kapolres Poso, AKBP Drs. H. Adeni Muhan. DP.MM, saat itu seorang anak muda yang tengah mabuk (kebetulan beragama Kristen) meminjam obeng kepada seorang pemuda muslim di sebuah masjid.

Karena tidak diacuhkan, si anak muda yang tengah mabuk itu langsung menikam pemuda muslim tersebut. ”Yang terjadi kemudian, isu menyebar bahwa masjid diserbu orang Kristen,” ujar mantan Kepala Detasemen Khusus 88 Polda Sulawesi Utara itu.

Sentimen sektarian yang terbakar itu secara cepat kemudian melalap seluruh kawasan Poso. Api kebencian semakin besar saat tersiram persoalan lain: perebutan kekuasaan antarelite lokal dan kecemburuan sosial ekonomi pribumi terhadap pendatang. Akibatnya langsung terasa. Poso, kawasan tua yang multiagama itu, luluh lantak justru oleh kebencian yang mengatasnamakan agama.

Pemerintah Daerah Kabupaten Poso mencatat 15.591 rumah dan tempat ibadah terbakar, serta 97.655 orang menjadi pengungsi. Sementara itu, korban tewas menurut Sofyan Lemba, berkisar pada angka 2.700-an jiwa. ”Kebanyakan korban tewas dari pihak muslim,” kata salah seorang penandatangan Deklarasi Malino, sebuah kesepakatan yang dilakukan para tokoh di Sulawesi Tengah pada 20 Desember 2001, guna menciptakan perdamaian di Poso.

*


Suatu pagi di paruh akhir 2000. Matahari baru saja muncul dari arah timur Sayo. Baru lima menit, Kasim Tatuwo naik ke dangau, saat suara panik seorang laki-laki terdengar olehnya. “Kota rusuh! Kota rusuh!”

Seperempat jam kemudian, berkumpullah para petani di dangau milik Kasim. Mereka sangat cemas, kerusuhan akan melebar ke Sayo. Atas usul salah satu petani, bersama-sama mereka turun ke kampung. “Pekerjaan kebun yang belum selesai terpaksa kami tinggal,” tutur lelaki kelahiran Poso, 53 tahun lalu itu.

Sekitar pukul 9, mereka sampai di kampung. Suasana terasa mencekam. Sebagian besar warga Sayo sudah mengungsi ke Markas Komando Distrik Militer (Kodim) Poso. Kasim bergegas menuju rumah, menemui keempat anggota keluarganya. “Mereka lalu saya antarkan ke Markas Kodim, saya sendiri balik lagi ke kampung untuk jaga-jaga,” kenangnya.

Sejak itu, hari-hari Kasim dan ratusan lelaki Sayo selalu dipenuhi ketegangan. Mereka harus berjibaku mempertahankan Sayo dari penyerang dengan hanya mengandalkan batu dan parang. “Sedang dari pihak mereka ada yang pake bedil,” ujarnya. Tak heran, karena ketidakseimbangan itu, banyak rekan-rekannya yang tewas.

Hampir satu setengah bulan bertahan, Sayo akhirnya jatuh ke tangan para penyerang. “Kami dikepung beberapa hari, tapi alhamdulillah bisa lolos,” kata kakek dari lima cucu itu. Dengan sedih, mereka tinggalkan kampung halaman. Mereka hanya bisa menatap dari jauh, saat Sayo mulai dilalap api.

Lepas dari maut, Kasim kemudian menyusul keluarganya ke Kodim Poso. Berbulan-bulan mereka jadi pengungsi. Sampai suatu hari aparat mengantarkan mereka kembali ke Sayo. “Tapi tidak lama, karena Sayo kembali diserang dan kami jadinya mengungsi lagi.”

Di tengah kebingungan mencari tempat berteduh, pada Januari 2001, Kasim “menemukan” sebuah hotel yang telah terbakar di Jalan Pulau Samosir, Poso. “Saya berpikir, kenapa tidak saya bawa keluarga saya ke sini?” ujar laki-laki berdarah Gorontalo itu.

Pada 9 Januari 2001, Kasim memboyong anak istrinya ke tempat itu. Dari sana, ia menyambung kembali alur hidupnya. “Mulanya saya menafkahi keluarga dengan bekerja serabutan,” katanya. “Tapi alhamdulillah, beberapa bulan kemudian saya diterima kerja di Dinas Kebersihan Kabupaten Poso.”

Awalnya, bekas hotel itu ditempati hanya keluarga Kasim. Lambat laun, banyak pengungsi dari Sayo datang dan tinggal juga di sana. “Sekarang sudah ada 14 KK yang tinggal di sini,” ujar Kasim.

Hampir tujuh tahun menjadi penghuni bekas hotel, tidak melarutkan rasa rindunya untuk kembali pulang ke Sayo. Kendati mengaku betah, Kasim sadar bangunan itu bukan hak milik dia. “Hak saya ada di Sayo,” katanya pelan.

**


Bergerak sekitar 70 km dari Poso, tepatnya di perbatasan antara Tentena dan Pamona Utara, tinggalah perempuan tua bernama Ana Bente, 50 tahun. Bersama sekitar 500 pengungsi lainnya, sudah hampir 6 tahun ia tinggal di Later.

Later adalah sebuah ”desa dadakan” yang dibangun di atas tanah milik gereja pada 2001. Dinamakan Later (singkatan dari Lapangan Terbang) karena tanah itu adalah bekas lapangan terbang pada zaman Hindia Belanda.

Tak jauh beda dengan kondisi di tempat pengungsian di Hotel Anugerah, kemiskinan juga seolah menjadi kawan akrab bagi warga Later. Bayangkan saja, dari 113 rumah yang ada di sana, hanya 5% yang semi permanen. Sisanya terbuat dari kayu berdinding bilik, beratap sirap, serta beralaskan tanah. “Tak jarang penerangan di rumah kitorang hanya pake lilin saja,” kata Dompu Djepa, Kepala Desa Later yang menemani saya berkeliling wilayah itu.

Dompu mengeluhkan pula sarana sanitasi di desanya. Selain itu, ia juga merasa bingung jika ada warganya yang mengalami trauma dan stres akibat terlalu lama tinggal di pengungsian. ”Penanganan psikologis sangat diperlukan di sini,” ujar laki-laki 56 tahun itu. Lalu, kenapa mereka masih bertahan di tempat itu?

“Kitorang masih takut pulang ke Poso,” kata Ana Bente yang mengaku trauma sejak tiga saudaranya meninggal akibat konflik. Salah satunya, ia saksikan sendiri dibantai di kawasan ladang milik mereka. “Mereka tebas kepalanya,”ujarnya hampir tak terdengar.

Namun, bukan berarti nenek dari dua cucu itu menutup harapannya untuk kembali ke kampungnya. “Kalau Tuhan mengizinkan, kitorang pasti pulang,” ujarnya masih dalam nada pelan.

Cerita pahit tentang kesedihan juga saya dengar dari seorang lelaki yang tak mau menyebut namanya di kawasan Lombogia, Poso. Lelaki yang berusia sekitar 50-an itu, berkisah tentang 2 anak lelakinya yang ditemukan tergeletak tanpa kepala di tepi Teluk Poso, saat konflik berkecamuk

“Karena itu saya sangat membenci perang,”kata lelaki Borgo itu.

Suku Borgo adalah keturunan orang-orang Minahasa yang melakukan pernikahan dengan orang-orang Spanyol pada paruh abad 16. Mereka dikenal sebagai tentara bayaran yang terlatih dan tangguh dalam beberapa pertempuran di Sulawesi.

Sudah memasuki tahun ketujuh, persoalan pengungsi di Poso tak jua terselesaikan tuntas. Menurut Haji Adnan Arsal, itu terjadi karena pemerintah daerah bersikap setengah hati. Dalam pandangan tokoh Islam Poso itu, pemerintah daerah kadang tidak logis saat memberikan pelayanan kepada para pengungsi. Sebut saja soal pembuatan rumah pengganti. ”Warga butuhnya 300, pemerintah daerah bangun cuma 20. Ini kan ini tidak masuk akal,” kata ustadz yang dikenal sebagai Panglima Muslim Poso pada konflik 7 yahun yang lalu itu.

Hendrik Bouw, tokoh masyarakat Kristen di Tentena mengeluhkan hal yang sama. Menurut dia, pemerintah daerah tidak pernah melibatkan elemen masyarakat dalam soal pengadaan rumah pengganti itu. Wajar, jika yang terjadi kemudian, “Para pengungsi merasa apa yang dilakukan pemerintah daerah itu belum mencukupi,” ujar wartawan Poso Pos itu. Maka, jadilah mereka terlunta-lunta selama tujuh tahun.

***

Sewindu telah berlalu. Kini Poso mulai berbenah. Semangat pembangunan dan damai mulai menggeliat. Seperti di Pasar Sentral, suasana akrab meliputi penjual dan pembeli yang berlainan agama. Sementara itu, di Lawanga -–kawasan pantai di Teluk Poso, yang pada 2000 menjadi medan perang — Masjid Nurul Huda yang megah tengah dibangun. Sekitar 2 Km dari sana, di Lombogia, sebuah gereja pun tengah direnovasi.

Suasana kondusif memang mulai berjalan di Poso. Itu diakui oleh Ustadz Adnan Arsal. Menurut tokoh Islam terkemuka di Poso itu, keamanan saat ini cukup bagus. Namun jika tidak ada niat baik dari masyarakat dan pemerintah untuk menjaganya, Adnan tidak bisa menjamin situasi aman itu akan berlangsung lama.

Menurut pimpinan Pesantren Amanah Poso itu, salah satu cara untuk menjaga situasi tetap kondusif adalah: Pemerintah harus ”menindak secara hukum para pelaku kejahatan kemanusiaan yang sekarang masih berkeliaran di Poso,” katanya, tegas.

Sedikit berbeda dengan Adnan Arsal, Pendeta Ishak Pole Msi dari Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) menekankan perlunya penangangan serius para pengungsi. Menurut alumni Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) itu, pengabaian kepentingan para pengungsi bisa jadi berpotensi menumbuhkan akar baru konflik. “Pemberian tempat tinggal dan penanganan psikologis wajib dilaksanakan secepatnya oleh pemerintah,” ujarnya.

Sekadar informasi, dalam catatan Dinas Sosial Kabupaten Poso sampai hari ini, ada sekitar 4.325 keluarga yang masih menjadi pengungsi di seantero Sulawesi Tengah. Sebagian besar dari mereka tersebar di kawasan Poso, Tentena hingga Pamona.

Kembali ke Sayo. Menjelang petang, Victor dan Abdullah baru saja pulang dari kota. Mereka mendekati saya, yang tengah menikmati secangkir kopi di sebuah kedai pinggir kampung. Mereka juga lantas memesan masing-masing secangkir kopi, bergabung dengan saya dan beberapa orang kampung lainnya. Sambil menyeruput kopi pahit yang masih mengepulkan asap harum, mereka bercanda dan tertawa. Laiknya bersaudara. “Ya, enak begini. Buat apa kitorang bakale? Cuma cari susah saja,” kata Victor.

Malam datang menjemput senja. Beberapa saat terdengar suara azan magrib bersipongan dari sebuah masjid kecil di Sayo. Abdullah,saya dan beberapa lelaki tua bergegas ke arah masjid sederhana di tengah kampung. Sementara, dalam kawalan simponi binatang malam, Victor menapaki batas kampung, kembali pulang ke Bukit Bambu. Suasana terasa tenang dan damai. HENDI JOHARI
Read More..
 
hendi johari © 2008. Design by Pocket