Jumat, 11 Maret 2011

PERANG TINJA DI UTARA BATAVIA

Jumat, 11 Maret 2011

Sepenggal kisah lucu yang terlupakan dari peristiwa invasi militer Mataram ke Batavia



Matahari siang menyengat garang di kawasan Kota, Jakarta Utara. Beberapa pedagang asongan terlihat lesu, berkumpul tanpa bicara. Di seberang sebuah gereja tua peninggalan Portugis, seorang pedagang sirup buah lontar tengah sibuk melayani tiga pembelinya: dua anak muda dan seorang tua bertopi bisbol. Karena tak kuat menahan rasa dahaga, saya memutuskan untuk jadi pembeli yang keempat.

”Panas sekali hari ini ya,Pak,”ujar saya seraya mengecek kembali kamera yang ada di dalam tas saya. Maklum, kawasan kota selain panasnya juga terkenal dengan copet dan penjambretnya yang ”cerdik” luar biasa.

”Tidak hari ini aja kali,Bang,”jawab si pedagang sirup.Saya tersenyum, menyadari pernyataan yang barusan saya ucapkan. Basa-basi yang bodoh.

Beberapa menit kemudian, segelas air buah lontar singgah ke tangan saya. Sambil menikmati segarnya sirup yang daunnya kerap dijadikan ”kertas” di era raja-raja kuno masih berkuasa di Nusantara itu, mata saya tak henti mengagumi situasi sekitar: gereja tua, orang lalu-lalang dan mobil-mobil buatan Jepang yang mengeluarkan asap karbonmonoksida. Siapa nyana tempat ini dulu pernah berdarah-darah?

Menurut Dr.F.De Haan, Kerajaan Mataram pernah dua kali menggempur Batavia.Yakni pada 1628 dan 1629. Dengan total kekuatan 24.000 serdadu Mataram berusaha menguasai Batavia (yang saat itu meliputi kawasan Kota dan sekitarnya). ”Di bawah pimpinan Tumenggung Bahurekso, operasi militer mereka kendalikan dari kawasan Marunda,”tulis De Haan dalam Oud Batavia.

Saat penyerangan terjadi, di beberapa titik kota terjadi pertempuran satu lawan satu yang sangat seru dan heroik bagi kedua pihak. Salah satu pertempuran yang paling ”kejam dan lucu” terjadi di sekitar kawasan Benteng Tepi Selatan VOC, yang saat ini menjadi tempat saya sedang menyantap sirup buah lontar.

Dalam Historical Sites of Jakarta, Adolf Heuken menyitir sebuah kisah berbahasa Jerman yang diambilnya dari tulisan Johan Neuhoff berjudul. Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Nederlaendern an den Tatarischen Cham, yang diterjemahkan dari naskah Belanda 1666. Tulisan itu menceritakan sebuah bataliyon VOC yang nyaris hancur lebur oleh serangan bergelombang para prajurit Mataram. Di tengah krisis makanan dan amunisi serta keadaan moril yang runtuh, tiba-tiba seorang tentara bayaran asal Pfalz, Jerman bernama Sersan Hans Madelijn mendapat ilham untuk membuat sebuah siasat gila. Ia memerintahkan pasukannya untuk menyiramkan (maaf) tinja kepada pasukan Kerajaan Mataram yang berusaha memanjat tembok benteng.

Demi mendapat "serangan aneh dan menjijikan" itu, para prajurit tempur Mataram kontan berloncatan dan lari lintang pukang. Dengan menutupi hidung, mereka menghindari Benteng Selatan seraya menggerutu marah: "O seytang orang Ollanda de bakkalay samma tay!" Sebuah ungkapan bahasa Melayu kuno yang artinya “Dasar Setan, orang-orang Belanda itu berkelahi pakai (maaf) tahi!”

"Dari peristiwa itu, untuk pertama kali kata-kata Melayu tercatat dalam buku berbahasa Jerman," kata Heuken.

Matahari siang menyengat garang di kawasan Kota, Jakarta Utara. Beberapa pedagang asongan terlihat lesu, berkumpul tanpa bicara. Namun di seberang sebuah gereja tua peninggalan Portugis, seorang pedagang sirup buah lontar justru masih saja tertawa-tawa, meskipun saya sudah selesai bercerita. (hendijo)

0 komentar:

Posting Komentar

 
hendi johari © 2008. Design by Pocket