Rabu, 05 Agustus 2009

CERITA DARI PUSAT BORNEO

Rabu, 05 Agustus 2009

Awal Januari yang lalu, saya mendapat kesempatan pergi ke Sampit,Kalimantan Tengah.Awalnya tujuan saya hanya melakukan liputan advetorial untuk Archipelago Magazine. Namun beberapa hal menarik perhatian saya. Terutama mengenai sejarah Sampit dan situasi masyarakatnya setelah lebih sewindu lepas dari konflik antara etnis. Sebagai jurnalis, terpikir tidak adil rasanya kalau saya melewatkannya dan tidak membaginya dengan anda.


Pukul 11.13 WIB. Di tengah cuaca cerah dan embusan angin yang sedikit kencang, pesawat jenis Boeing 737 milik Merpati Airline rute Surabaya-Sampit yang kami tumpangi mendarat mulus di landasan bandara udara H.Asan kota Sampit. Puluhan penumpang dengan teratur antri untuk keluar dari kabin pesawat. Beberapa diantaranya ribut bercakap dalam bahasa Indonesia logat Banjar. Sementara menunggu penumpang lain turun, usai wawancara saya ngobrol-ngobrol ringan dengan Kapten R.Arief Budiyanto (35) dan co pilot Kapten Sofwan Mujahid (40) di cockpit.

“Sampit ini memang kota kecil tapi bisa dibilang penting buat Kalimantan Tengah,”kata Arief Budiyanto.

“Pentingnya?” tanya saya.

“Ini kota bisnis,Mas. Ibarat Balikpapan untuk Kalimantan Timur,”ujar pilot muda kelahiran Cirebon itu.

Saya hanya mengangguk-anggukan kepala.Informasi itu sebenarnya sudah saya dapat jauh sebelum saya berangkat ke Sampit. Namun bagi sebagai besar orang di Jakarta tentunya informasi itu sedikit asing terdengar. Mereka hanya tahu Sampit adalah sebuah kota yang pernah banjir darah akibat konflik antara etnis.

Begitu lekangnya kesan itu, hingga salah seorang kawan lama saya saat kuliah dulu mengernyitkan dahinya waktu mendengar saya akan pergi ke Sampit. “Awas lu, hati-hati nanti salah-salah di sana kepala lu hilang lagi,”katanya. Saya hanya tersenyum saja mendengar peringatan basi itu. Dia pikir, hingga kini orang Dayak dan Madura masih bertempur hebat di sana. Satu contoh lagi dampak dari kemalasan membaca.

Dari Bandara H.Asan, kami bergerak ke sebuah hotel bintang dua (katanya itu hotel paling bagus di Sampit) di pusat kota. Sepanjang perjalanan, saya menyaksikan situasi kota yang jauh dari kesan bekas kawasan konflik: perkantoran yang tengah direnovasi, jalan-jalan yang terlihat bersih, bangunan-bangunan tinggi yang berfungsi sebagai sarang walet dan hilir mudiknya beberapa mobil mewah terbaru. Sangat jauh situasinya dengan Poso (bekas daerah konflik juga), yang beberapa waktu lalu pernah saya kunjungi.


Sam It, Sampit atau Sempit?

Sejarah Sampit memang memiliki banyak versi penafsiran. Banyak ahli sejarah mengatakan bahwa nama Sampit sebagai sebuah kerajaan sesungguhnya sudah ada saat Mahapatih Gajah Mada melakukan ekspedisi militer ke Tanjungnegara (Borneo atau Kalimantan) pada 1350-an. Bukti itu termaktub dalam kitab Nagara Kartagama.Di dalam buku karya Empu Prapanca itu disebutkan bahwa Sampit adalah salah satu kawasan taklukan Gajah Mada di Tanjungnegara selain Kapuas-Katingan, Kotawaringin, Sambas,Kota Unga, Lawai dan Kutai .

Lain Empu Prapanca, lain juga Wahyudi Kaspul Anwar. Kepada saya, Bupati Kotawaringin Timur itu menyatakan bahwa Sampit berasal dari gabungan 2 kata dalam bahasa Cina yakni sam (dua) dan it (satu). Itu merujuk kepada 21 orang Hokian yang datang ke kawasan di tepi Sungai Mentaya pada 1840-an. “Mereka datang pertama kali ke sini untuk berniaga namun akhirnya mendirikan loji tetap di Sampit,”ujar Wahyudi, persis seperti yang ia tulis dalam Merajut Sampit dalam Persfektif Global.

Tidak serta merta saya percaya begitu saja dengan informasi sejarah tersebut. Pulang ke hotel, malamnya saya surfing di internet. Ternyata saya menemukan bantahan terhadap cerita versi Wahyudi tersebut. Dalam sebuah blog yang mempropagandakan pendirian provinsi Kotawaringin (http://propinsikotawaringin.blogspot.com), Drs. H. Madjedi bin Filmansyah menisbahkan nama Sampit justru kepada Datu Sampit. Itu nama seseorang yang berasal dari wilayah Bati-Bati, Kalimantan Selatan yang membuka hutan di kawasan Sungai Mentaya pada awal tahun 1800-an. Madjedi menguatkan anggapannya itu dengan menyodorkan bukti sejarah, makam Datu Sampit yang terletak di sekitar Basirih.

“Datu Sampit mempunyai dua orang anak yaitu almarhum Datu Djungkir dan Datu Usup Lamak. Makam keramat Datu Djungkir dapat ditemui di daerah pinggir Sungai Mentaya di Baamang Tengah, Sampit. Sedangkan makam Datu Usup Lamak berada di Basirih,”tulis lelaki yang mengaku masih merupakan keturunan ketiga dari Datu Sampit itu.

Seolah ingin meramaikan ajang saling klaim asal nama Sampit, di blog lain bahkan saya menemukan kata sampit berasal dari kata sempit. Lho,kok bisa? Bisa saja kalau kita mau mendengar versi lain soal asal muasal nama itu. Mau tahu? Begini ceritanya, tersebutlah salah seorang putera Sultan Musta’inbillah (1650 – 1672) dari Kesultanan Banjar bernama Panggeran Adipati Anta Kusuma. Pada 1670-an, ia memohon kepada ayahandanya untuk memimpin sebuah kawasan sendiri.

Permohonan panggeran yang hobi berpetualang itu dikabulkan oleh Sultan. Maka dengan sebuah perahu layar dan diiringi beberapa pengikutnya bergeraklah sang panggeran ke arah barat. Setelah perjalanan beberapa hari melewati Teluk Sebangau, Pagatan dan Mendawai,sampailah rombongan sang panggeran di sebuah muara sungai (sekarang Sungai Sampit).

Begitu menyaksikan kawasan subur itu, para pengikutnya bersorak dan menyarankan sang panggeran untuk mendirikan kerajaan baru di tempat itu saja. Alih-alih setuju, usai turun dan melihat situasi tempat tersebut, Panggeran Anta Kusuma malah sambil naik lagi ke perahu berucap: “Kawasan ini terlalu sempit,”katanya. Jadilah itu sebagai asal muasal nama kota Sampit sekarang ini.

Mana yang sahih? Saya sendiri belum berani memilih salah satu pendapat tersebut. Terlebih hingga kini belum ada satu ahli sejarah pun yang coba meneliti keabsahan beberapa kisah di atas. Namun soal Sampit pernah dijadikan pusat pengolahan kayu terbesar di Asia Tenggara pada era Hindia Belanda, bisa jadi itu betul. Sebab ketika mengunjungi Taman Kota, di sana saya melihat sendiri sebuah pabrik tempat pengolahan kayu yang lumayan besar.

Tapi ada satu cerita unik terkait soal sejarah Sampit tersebut. Zul (34) –sopir local yang menyertai kami selama di Sampit-- berujar bahwa dulu Sampit itu adalah sebuah kesultanan otonom. Tidak masuk Tanjungnegara.Tidak juga masuk Kerajaan Kotawaringin. Wah,versi sejarah mana lagi ini? Pikir saya. “Abang pasti tidak percaya kalau kami dulu pernah punya bendera kebangsaan sendiri?”

Saya hanya tersenyum mendengar pertanyaannya (lebih tepat pernyataan sepertinya) itu. Untunglah ia tidak meneruskan informasi yang sebenarnya menarik itu, karena perhatian kami lebih tertuju ke kedai-kedai makanan yang berjejer sekitar Taman Kota.

Tapi dasar saya yang selalu penasaran. Sampai di hotel saya langsung bertanya kepada perangkat pintar bernama Google. Saya ketik di mesin pencari: sampit flag. Hasilnya sebuah situs bernama www.crwflags.com mengantarkan ke pandangan mata saya 4 gambar bendera yang di atasnya tertulis: Sampit Sultanate!


Trauma Konflik

Masyarakat Indonesia (bahkan dunia), mengenal kata Sampit sebagai tempat yang identik dengan konflik. Saya sendiri baru percaya setelah menyaksikan hasil pencarian kata sampit di Google. Hampir dipastikan dari 857.000 file sebagian besar berhubungan dengan berita konflik 8 tahun lalu itu. Begitu juga saat saya membuat “survey” (kan lagi musimnya nih) kecil-kecilan di lingkungan rumah saya. Saya tanya: apa yang mereka tahu tentang Sampit? Dari 11 tetangga dan saudara yang saya tanya, 9 diantaranya menjawab konflik etnis , seorang bilang nanasnya yang gede-gede dan seorang lagi bilang tidak tahu (ini yang parah karena orang ini mahasiswa).

Soal kesan miring tersebut, sempat saya tanyakan kepada Bupati Kotawaringin Timur secara langsung. Reaksinya? Wajahnya berubah murung (lebih condong ke kesal sepertinya) seraya berkata: “Sebenarnya saya tidak suka bahas itu lagi ya? Tolong jangan disebut-sebut lagi karena itu bagi kami masa lalu yang harus cepat dilupakan,”katanya.

Sikap traumatik terhadap masa lalu ternyata bukan hanya milik Pak Bupati semata. Itu dibuktikan saat suatu pagi saya sengaja jalan-jalan ke Baamang, sebuah kawasan di tepi Sungai Mentaya yang merupakan medan pertempuran paling sadis saat konflik dulu.Begitu sadisnya, hingga konon ratusan mayat tanpa kepala mengambang di Sungai Mentaya waktu itu.

“Kalau lagi surut di bawah Hotel Asoka itu, Abang bisa lihat banyak tengkorak berserakan,”kata Zul sambil menunjuk sebuah bangunan suram di pinggir Sungai Mentaya.

Dan memang, saat saya ke sana, tak seorang pun mau menjawab secara gamblang pertanyaan saya sekitar kejadian 8 tahun lalu itu. Kalaupun ada yang mau saya ajak ngobrol, mereka rata-rata menjawab seperlunya saja. Barulah ketika saya bilang saya wartawan dari Jakarta mereka sedikit terbuka.Terlebih saat ngobrol saya mencoba santai saja, tak memfokuskan obrolan ke arah konflik masa lalu.

Salah seorang pemuda yang mau saya ajak ngobrol bernama Fadli (27). Tingginya sekitar 160 cm, dengan perawakan kekar dan kulit legam. Saat konflik berkecamuk,ia adalah remaja berumur 19 tahun yang tengah bandel-bandelnya. Kepada saya, ia cerita saat pertempuran pertama pecah di kawasan Sarigading sekitar akhir Februari 2001 itu, dengan mandau di pinggang ia mendaftarkan diri untuk “dimandikan” di Hotel Asoka.

Istilah dimandikan mengacu kepada upacara pemberkatan sebelum berangkat perang. Biasanya calon prajurit Dayak diguyur kepalanya dengan air yang sudah diberi mantera-mantera oleh para dukun. Hasilnya mereka akan menjadi ganas laiknya harimau lapar. “Waktu bertempur, istilah takut itu seolah sudah hilang dari kepala saya,”ujar lelaki Dayak Banjar itu seraya memperlihatkan dua bekas goresan bekas luka bacok di perut sebelah kirinya. Lalu apa yang didapatkannya usai konflik?

“Rasa sesal. Apalagi ketika baru-baru konflik berakhir, setiap hari saya selalu merasa dikejar arwah orang-orang yang mungkin sudah saya bunuh,”katanya pelan seraya pandangannya jauh menerawang.Seolah ingin menembus air Sungai Mentaya yang berwarna abu-abu kecoklatan.

Rasa trauma yang paling mendalam bisa jadi dialami oleh Badrodin (umurnya sekitar 40-an)—bukan nama sebenarnya--,seorang tukang sate Madura. Begitu traumanya, hingga di spanduk depan dagangannya ia tidak menyebut kata madura di belakang kata sate,laiknya di kota-kota lain.

Menurut Zul, konon hampir semua tukang sate madura di Sampit, sejak konflik 2001, memilih untuk tidak menulis kata madura di spanduk dagangannya. Jadi wajar,jika pedagang sate yang biasa mangkal di sekitar kawasan hotel ternama di Sampit itu mendadak gagu saat secara hati-hati saya bertanya kondisi masyarakat Madura pasca konflik. Pun ketika saya membayar sate yang saya santap , mulutnya seolah masih terkunci rapat.


Kota Bisnis

Kondisi traumatik akibat konflik ternyata tidak dapat membunuh Sampit dan wilayah-wilayah lain di Kotawaringin Timur (Kotim). Alih-alih hancur, saat ini Kotim memiliki PDRB (Produk Domestic Regional Bruto) paling besar di Kalimantan Tengah. Tentunya banyak yang terkejut dengan kemajuan itu. Terlebih jika melihat data yang dikeluarkan pemerintah setempat pasca konflik, Kotim mengalami kerugian ekonomi hingga 17,5 milyar rupiah. Belum kerusakan tempat tinggal yang mencapai jumlah 1192 dan korban jiwa hingga 400-an orang.

Namun setahun sesudah konflik itu terjadi (2002), alih-alih loyo, Kotim justru bermatamorfosis menjadi kekuatan ekonomi baru di Kalimantan Tengah. Itu mengacu kepada upaya berbagai pembangunan dan eksplorasi sumber daya alam yang dilakukan pasca kerusuhan yang meningkat tajam.Sebut saja salah satunya adalah booming perkebunan sawit.

Komoditas kelapa sawit tersebut banyak diproduksi di Kecamatan Mentaya Hulu, Parenggean, dan Cempaga. Sedangkan karet yang juga banyak diolah untuk dijadikan souvenir khas Kalimantan itu banyak ditanam di Kecamatan Cempaga, Kota Besi, Mentaya Hulu, dan Parenggean.

Salah satu asset yang tak kalah penting di Kotim adalah burung walet. Hampir di setiap sudut kawasan Sampit dan Samuda terdapat ribuan bangunan tinggi yang berfungsi sebagai peternakan walet.Menurut H.A. Sulai saat ini ada sekitar 150 pengusaha burung wallet yang bertebaran di seluruh Kotim. “Namun kurang terkoordinasi secara baik,”ujar pengusaha yang memiliki 8 penangkaran burung wallet itu.
Maraknya penduduk Kotim yang berbisnis sarang wallet itu,jelas mendongkrak pertumbuhan ekonomi di sana. Mengapa? Karena harga sarang kaya gizi itu termasuk fantastis: antara Rp.10-juta-12 juta/kg. Konon sarang wallet yang dihasilkan dari Sampit dan Samuda diekspor ke beberapa negara Asia Timur seperti Jepang, Cina dan Hongkong.

Potensi ekonomi Kotim terdapat pula di laut dan wilayah pesisir. Salah satu kawasan yang banyak dikunjungi para turis adalah Ujung Pandaran, sebuah pantai berpasir putih dan jaraknya sekitar 85 km dari Sampit. Begitu juga dengan isi perut buminya yang menurut para ahli mengandung biji besi,emas, timah dan batu bara yang bermutu. Bisa jadi inilah maksud kalimat, Sampit (baca:Kotim) bagi Kalimantan Tengah ibarat Balikpapan untuk Kalimantan Timur. (HENDI JOHAR,FOTO:IMAN)

1 komentar:

seta basri mengatakan...

Pel, sobat kita Muradi baru rilis buku tentang Polri. Coba tengok di link ini : http://muradi.wordpress.com/2009/08/08/perjalanan-panjang-reformasi-polri/#comment-1252

Posting Komentar

 
hendi johari © 2008. Design by Pocket