Rabu, 05 Agustus 2009

KIDUNG SUNYI KAMPUNG PROKLAMASI

Rabu, 05 Agustus 2009

Rengasdengklok nyaris dilupakan orang. Padahal dari kampung di tepi Kali Citarum itu, awal perjalanan bangsa Indonesia dimulai.Kini alih-alih tersejahterakan, kemiskinan justru menjadi ciri sebagian besar warganya.


Di Rengasdengklok, Karawang, kesehjateraan berjalan tertatih-tatih. Lihat saja jalan utama di kecamatan itu, seluruhnya dipenuhi lubang menganga. Tengok juga kanan kiri sepanjang jalan, rumah-rumah bergaya sangat sederhana berderet dalam barisan tak beraturan. Sebagian malah masih ada yang menggunakan sirap sebagai pengganti genting. ” Kemiskinan memang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun di sini,”kata Sukendar (45), warga Desa Rengasdengklok Selatan.

Sukendar tidak sedang berseloroh. Dari sekitar 500 keluarga yang bermukim di sana bisa jadi hanya nol koma sekian persen yang bisa disebut tidak miskin. Itu wajar jika mengingat sebagian besar penduduknya tidak memiliki pekerjaan tetap. Selain sebagai pekerja serabutan, profesi penduduk Rengasdengklok rata-rata adalah petani dan pedagang kecil-kecilan.

”Namanya aja yang gede dalam sejarah, nyatanya mah di sini banyak orang melarat,”ujar Maja (30), juru kunci Monumen Perjuangan Rengasdengklok.

Maja benar. Rengasdengklok memang bukan nama kecil dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Jauh 64 tahun yang silam, para pemuda pimpinan Soekarni ”menculik” Soekarno-Hatta ke kawasan yang berjarak sekitar 85 kilometer dari Jakarta itu.

Dalam otobiografinya, Adam Malik, salah satu tokoh Prapatan 10, menyebut ”penculikan” itu adalah upaya darurat untuk memurnikan Soekarno-Hatta dari pengaruh Jepang. “Menurut hemat kami, mereka –Soekarno dan Hatta—terlalu mengandalkan proses pemindahan kekuasaan ke tangan Republik semata-mata hanya kepada good will dari pemerintahan militer Jepang,” tulis Adam Malik dalam Mengabdi Republik.

Prapatan 10, adalah nama kelompok pemuda yang bermarkas di Jalan Prapapatan 10 di Jakarta. Mereka dikenal sebagai kumpulan anak muda radikal yang disebut-sebut terpengaruh oleh pemikiran Tan Malaka dan Sutan Sjahrir,dua tokoh bangsa yang dikenal berpaham kiri.

Atas tuduhan sinis anak-anak muda Prapatan 10 itu, Soekarno dan Hatta tentu saja menolaknya mentah-mentah. Kepada Soekarni,pimpinan Prapapatan 10, dengan keras, Soekarno mengeritik para pemuda yang dinilainya berlaku grasa-grusu.”Tindakanmu salah, salah samasekali.Tidakah engkau dapat mengerti bahwa permainanmu ini akan menemui kegagalan? Aku tahu bagaimana kecintaanmu pada tanah air.Kuhargai semangatmu yang berkobar-kobar itu.Tapi hanya itu yang kau miliki.Engkau harus bijaksana dan berkepala dingin,”ujar Soekarno seperti yang ia tulis dalam Bung Karno,Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adam.

Akhirnya setelah melalui perdebatan sengit, Soekarno-Hatta sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dan segala sesuatunya tentang proklamasi itu, memang dimulai dari kampung kecil di pinggir Sungai Citarum tersebut.

Kini saksi bisu perdebatan yang melahirkan Indonesia itu masih hadir. Beberapa waktu yang lalu, saya dan fotografer Eko Yudha mengunjungi sebuah rumah tua milik mendiang Djiaw Kie Siong –seorang petani keturunan Cina. Rumah itu masih berdiri menyisakan dua kamar dan satu ruangan tamu. Kendati masih dirawat oleh Djiaw Kwin Moi (56) –cucu mendiang Djiaw Kie Siong—namun kondisi rumahnya sungguh sangat menyedihkan.

Bahkan begitu buruknya perawatan di sana, hingga pernah membuat Bung Hatta, dalam kunjungan terakhirnya pada 1974, terlihat sedih. “Saya ingat sekali Bung Hatta terpaku lama di ruangan tengah rumah ini, dia sepertinya sedih sekali,” kenang Kwin Moi.

Lantas sejauh mana peran pemerintah? Adakah mereka memberikan dana untuk perawatan setiap bulannya? “Nggak ada, perawatan rumah ini murni dari dana pribadi kami,” ujar perempuan yang sehari-hari berdagang makanan dan minuman di sebuah warung kecil.

Angin kering bulan Juni menghempas tembok relief monumen yang membatu. Di ujung jalan, Maja Si Juru Kunci tengah mengusir gerombolan kambing yang nekad akan memasuki kawasan Tugu Perjuangan Rengasdengklok. “Wuss! Wusss! Hussssss! Sieehhhh!” teriaknya mendesis.

Rengasdengklok bisa jadi adalah cermin kecil amnesia bangsa ini terhadap masa lalu mereka. Padahal selama mereka lupa akan asal usulnya, selama mereka tidak bisa menghargai jasa para pahlawannya, kesehjateraan di negeri ini akan selalu berjalan tertatih-tatih. Seperti Rengasdengklok di siang yang sunyi dan kering itu.(HENDI JOHARI)

0 komentar:

Posting Komentar

 
hendi johari © 2008. Design by Pocket