Rabu, 05 Agustus 2009

JALAN PANJANG PEREMPUAN MIRWALI

Rabu, 05 Agustus 2009

Dia adalah korban pemerkosaan massal atas nama adat. Namun di tengah rasa traumanya, dia justru memutuskan membalas semua yang pernah dialaminya dengan mendirikan sekolah. Harapan dia, ke depan laki-laki di desanya bisa lebih menghormati mahluk yang melahirkan mereka.

Pemandangan yang terjadi di Desa Mirwali (termasuk dalam kawasan Punjab Pakistan) 7 tahun lalu itu, lebih laik disebut kebiadaban dibanding sebuah pengadilan adat. Sejumlah lelaki kekar dengan diiringi sorak sorai ratusan orang, memerkosa seorang gadis berusia 30 tahun. Muchtar Mai, nama gadis itu, menjerit, mengiba dan memberontak. Namun alih-alih terbebaskan, tenaganya malah terkuras dan dia menjadi bulan-bulanan nafsu iblis para pemerkosanya.

Awalnya, Mai meminta maaf kepada pengadilan adat dan memohon mereka untuk membebaskan adik laki-lakinya. Saudara Mai yang baru berusia 12 tahun itu, telah dituduh melakukan pelecehan seks terhadap seorang gadis dari klan Mastoi, sebuah klan terpandang di Desa Mirwali. Bukannya pengampunan yang dia dapat, malah seorang laki-laki meneriakinya, ” Kesalahan adikmu harus ditebus dengan cara memerkosamu,” Maka terjadilah peristiwa di atas.

Usai diperkosa beramai-ramai, bagai sampah Mai dicampakan begitu saja di lapangan desa. Dengan kondisi setengah telanjang dan diiringi cemohan orang-orang desa, Mai tertatih-tatih meninggalkan arena pengadilan tersebut. Hanya satu hal yang dipikirkannya kala itu,”Aku harus mengakhiri hidupku,”ujarnya.

Penderitaan Mai semakin tak tertahankan, saat beberapa hari kemudian sebagian orang di desa Mirwali menyatakan adik laki-laki Mai sesungguhnya tak memiliki dosa apapun. Sebaliknya dia malah menjadi korban penculikan dan pelcehan seks --dengan cara disodomi—tiga laki-laki klan Mastoi. Digelarnya pengadilan itu ternyata tak lebih sebagai upaya kalangan klan Mastoi mengaburkan masalah.

Bebeberapa bulan kemudian, berita itu sampai ke telinga kalangan kelompok pembela perempuan di Pakistan, dan dilambungkan oleh mereka sebagai kasus pelanggaran HAM internasional. Berkat dorongan dunia pula, pemerintah Pakistan memproses secara cepat 14 laki-laki yang terlibat pemerkosaan massal itu. Hasilnya enam laki-laki dijatuhi hukuman mati, dan sisanya dibebaskan karena minim bukti. Sedangkan Mai berhak menerima uang ganti rugi sebesar $9400.

Mai kemudian menggunakan uang tersebut untuk mendirikan dua sekolah., satu untuk anak laki-laki dan satunya lagi untuk anak perempuan. Mengapa dia tidak menggunakan uang tersebut untuk pergi dari desa Mirwali dan memulai hidup baru di tempat lain? Ternyata nurani Mai tidak sampai hati untuk menggunakan uang itu demi kepentingannya pribadi,”Bila saya menggunakan uang itu untuk diri saya, bagaimana nasib anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan di desa ini?”katanya. Dengan didirikannya dua sekolah tersebut, Mai berharap pendidikan bisa merngubah prilaku laki-laki di Desa Mirwali.

Dua sekolah yang didirikan Mai memang terhitung masih sangat sederhana. Di sana sama sekali tak ditemukan meja, bangku terlebih penerangan listrik. Kendati demikian, anak-anak Desa Mirwali sangat senang bersekolah di tempat itu. Hingga kini jumlah murid yang belajar di sekolah Muchtar Mai berjumlah ratusan.

Kini Mai belajar banyak dari peristiwa pahit yang menimpa dirinya. Walau harus bergulat dengan trauma masa lalu yang sangat kelam, Muchtar menyatakan tidak akan pernah menyerah pada adat setempat yang selalu merugikan posisi perempuan. Apalagi menurut Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan pada 2004 saja sudah 176 perempuan Pakistan yang diperkosa secara massal. Sebanyak 151 orang bunuh diri karena menanggung malu. Dan tak satu pun pelakunya diadili. (Hendi Johari)

0 komentar:

Posting Komentar

 
hendi johari © 2008. Design by Pocket