Senin, 03 Agustus 2009

ORANG-ORANG POSO

Senin, 03 Agustus 2009


Kisah manusia-manusia yang terlibat perang atas nama agama.



Gelap baru saja berlalu. Dari arah Bukit Bambu – perkampungan orang Kristen di kawasan Poso Kota. Saya dan Victor Moronggo, 37 tahun, mengayunkan langkah menuju Sayo, perkampungan orang Islam di Poso Kota. “Hari ini saya ada janji penting di kota. Abdullah, sahabat saya, katanya mau antar saya ke sana,” kata laki-laki murah senyum itu.

Sampai di perbatasan antara Bukit Bambu dan Sayo, tiba-tiba Victor mengentikan langkah. Seorang laki-laki bersepeda motor menghampirinya. “Ke mana saja ngana? Kita so sampe di sini dari tadi,” kata laki-laki itu dalam nada sedikit kesal.

Mendengar “teguran” Abdullah, 36 tahun, Victor hanya tersenyum kecut. Setelah pamit sebentar kepada saya, ia langsung duduk di belakang anak muda berkulit agak legam itu. ”Sori. Jangan ngana marah le. Ayo!” Dan meluncurlah sepeda motor tua itu ke arah pusat kota.

Tujuh tahun lalu, pemandangan tersebut hampir tak mungkin terjadi di Poso. Mengapa? Karena saat itu Poso terbelah dalam dua kubu yang bertikai: orang Islam versus orang Kristen. Itulah salah satu konflik berdarah terbesar di Indonehttp://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6173077667125519957sia yang terjadi pada awal abad ke-21. Begitu besarnya, sehingga Brigjen Polisi Drs. Badrodin Haiti menganggap penyelesaian Poso bagi Polri akan menjadi prestasi besar.

“Karena, ini menyangkut masalah stabilitas nasional,” kata Kapolda Sulawesi Tengah tersebut.

Pemicu pertikaian itu sendiri sebenarnya bermula dari persoalan sepele. Seperti yang dituturkan oleh Kapolres Poso, AKBP Drs. H. Adeni Muhan. DP.MM, saat itu seorang anak muda yang tengah mabuk (kebetulan beragama Kristen) meminjam obeng kepada seorang pemuda muslim di sebuah masjid.

Karena tidak diacuhkan, si anak muda yang tengah mabuk itu langsung menikam pemuda muslim tersebut. ”Yang terjadi kemudian, isu menyebar bahwa masjid diserbu orang Kristen,” ujar mantan Kepala Detasemen Khusus 88 Polda Sulawesi Utara itu.

Sentimen sektarian yang terbakar itu secara cepat kemudian melalap seluruh kawasan Poso. Api kebencian semakin besar saat tersiram persoalan lain: perebutan kekuasaan antarelite lokal dan kecemburuan sosial ekonomi pribumi terhadap pendatang. Akibatnya langsung terasa. Poso, kawasan tua yang multiagama itu, luluh lantak justru oleh kebencian yang mengatasnamakan agama.

Pemerintah Daerah Kabupaten Poso mencatat 15.591 rumah dan tempat ibadah terbakar, serta 97.655 orang menjadi pengungsi. Sementara itu, korban tewas menurut Sofyan Lemba, berkisar pada angka 2.700-an jiwa. ”Kebanyakan korban tewas dari pihak muslim,” kata salah seorang penandatangan Deklarasi Malino, sebuah kesepakatan yang dilakukan para tokoh di Sulawesi Tengah pada 20 Desember 2001, guna menciptakan perdamaian di Poso.

*


Suatu pagi di paruh akhir 2000. Matahari baru saja muncul dari arah timur Sayo. Baru lima menit, Kasim Tatuwo naik ke dangau, saat suara panik seorang laki-laki terdengar olehnya. “Kota rusuh! Kota rusuh!”

Seperempat jam kemudian, berkumpullah para petani di dangau milik Kasim. Mereka sangat cemas, kerusuhan akan melebar ke Sayo. Atas usul salah satu petani, bersama-sama mereka turun ke kampung. “Pekerjaan kebun yang belum selesai terpaksa kami tinggal,” tutur lelaki kelahiran Poso, 53 tahun lalu itu.

Sekitar pukul 9, mereka sampai di kampung. Suasana terasa mencekam. Sebagian besar warga Sayo sudah mengungsi ke Markas Komando Distrik Militer (Kodim) Poso. Kasim bergegas menuju rumah, menemui keempat anggota keluarganya. “Mereka lalu saya antarkan ke Markas Kodim, saya sendiri balik lagi ke kampung untuk jaga-jaga,” kenangnya.

Sejak itu, hari-hari Kasim dan ratusan lelaki Sayo selalu dipenuhi ketegangan. Mereka harus berjibaku mempertahankan Sayo dari penyerang dengan hanya mengandalkan batu dan parang. “Sedang dari pihak mereka ada yang pake bedil,” ujarnya. Tak heran, karena ketidakseimbangan itu, banyak rekan-rekannya yang tewas.

Hampir satu setengah bulan bertahan, Sayo akhirnya jatuh ke tangan para penyerang. “Kami dikepung beberapa hari, tapi alhamdulillah bisa lolos,” kata kakek dari lima cucu itu. Dengan sedih, mereka tinggalkan kampung halaman. Mereka hanya bisa menatap dari jauh, saat Sayo mulai dilalap api.

Lepas dari maut, Kasim kemudian menyusul keluarganya ke Kodim Poso. Berbulan-bulan mereka jadi pengungsi. Sampai suatu hari aparat mengantarkan mereka kembali ke Sayo. “Tapi tidak lama, karena Sayo kembali diserang dan kami jadinya mengungsi lagi.”

Di tengah kebingungan mencari tempat berteduh, pada Januari 2001, Kasim “menemukan” sebuah hotel yang telah terbakar di Jalan Pulau Samosir, Poso. “Saya berpikir, kenapa tidak saya bawa keluarga saya ke sini?” ujar laki-laki berdarah Gorontalo itu.

Pada 9 Januari 2001, Kasim memboyong anak istrinya ke tempat itu. Dari sana, ia menyambung kembali alur hidupnya. “Mulanya saya menafkahi keluarga dengan bekerja serabutan,” katanya. “Tapi alhamdulillah, beberapa bulan kemudian saya diterima kerja di Dinas Kebersihan Kabupaten Poso.”

Awalnya, bekas hotel itu ditempati hanya keluarga Kasim. Lambat laun, banyak pengungsi dari Sayo datang dan tinggal juga di sana. “Sekarang sudah ada 14 KK yang tinggal di sini,” ujar Kasim.

Hampir tujuh tahun menjadi penghuni bekas hotel, tidak melarutkan rasa rindunya untuk kembali pulang ke Sayo. Kendati mengaku betah, Kasim sadar bangunan itu bukan hak milik dia. “Hak saya ada di Sayo,” katanya pelan.

**


Bergerak sekitar 70 km dari Poso, tepatnya di perbatasan antara Tentena dan Pamona Utara, tinggalah perempuan tua bernama Ana Bente, 50 tahun. Bersama sekitar 500 pengungsi lainnya, sudah hampir 6 tahun ia tinggal di Later.

Later adalah sebuah ”desa dadakan” yang dibangun di atas tanah milik gereja pada 2001. Dinamakan Later (singkatan dari Lapangan Terbang) karena tanah itu adalah bekas lapangan terbang pada zaman Hindia Belanda.

Tak jauh beda dengan kondisi di tempat pengungsian di Hotel Anugerah, kemiskinan juga seolah menjadi kawan akrab bagi warga Later. Bayangkan saja, dari 113 rumah yang ada di sana, hanya 5% yang semi permanen. Sisanya terbuat dari kayu berdinding bilik, beratap sirap, serta beralaskan tanah. “Tak jarang penerangan di rumah kitorang hanya pake lilin saja,” kata Dompu Djepa, Kepala Desa Later yang menemani saya berkeliling wilayah itu.

Dompu mengeluhkan pula sarana sanitasi di desanya. Selain itu, ia juga merasa bingung jika ada warganya yang mengalami trauma dan stres akibat terlalu lama tinggal di pengungsian. ”Penanganan psikologis sangat diperlukan di sini,” ujar laki-laki 56 tahun itu. Lalu, kenapa mereka masih bertahan di tempat itu?

“Kitorang masih takut pulang ke Poso,” kata Ana Bente yang mengaku trauma sejak tiga saudaranya meninggal akibat konflik. Salah satunya, ia saksikan sendiri dibantai di kawasan ladang milik mereka. “Mereka tebas kepalanya,”ujarnya hampir tak terdengar.

Namun, bukan berarti nenek dari dua cucu itu menutup harapannya untuk kembali ke kampungnya. “Kalau Tuhan mengizinkan, kitorang pasti pulang,” ujarnya masih dalam nada pelan.

Cerita pahit tentang kesedihan juga saya dengar dari seorang lelaki yang tak mau menyebut namanya di kawasan Lombogia, Poso. Lelaki yang berusia sekitar 50-an itu, berkisah tentang 2 anak lelakinya yang ditemukan tergeletak tanpa kepala di tepi Teluk Poso, saat konflik berkecamuk

“Karena itu saya sangat membenci perang,”kata lelaki Borgo itu.

Suku Borgo adalah keturunan orang-orang Minahasa yang melakukan pernikahan dengan orang-orang Spanyol pada paruh abad 16. Mereka dikenal sebagai tentara bayaran yang terlatih dan tangguh dalam beberapa pertempuran di Sulawesi.

Sudah memasuki tahun ketujuh, persoalan pengungsi di Poso tak jua terselesaikan tuntas. Menurut Haji Adnan Arsal, itu terjadi karena pemerintah daerah bersikap setengah hati. Dalam pandangan tokoh Islam Poso itu, pemerintah daerah kadang tidak logis saat memberikan pelayanan kepada para pengungsi. Sebut saja soal pembuatan rumah pengganti. ”Warga butuhnya 300, pemerintah daerah bangun cuma 20. Ini kan ini tidak masuk akal,” kata ustadz yang dikenal sebagai Panglima Muslim Poso pada konflik 7 yahun yang lalu itu.

Hendrik Bouw, tokoh masyarakat Kristen di Tentena mengeluhkan hal yang sama. Menurut dia, pemerintah daerah tidak pernah melibatkan elemen masyarakat dalam soal pengadaan rumah pengganti itu. Wajar, jika yang terjadi kemudian, “Para pengungsi merasa apa yang dilakukan pemerintah daerah itu belum mencukupi,” ujar wartawan Poso Pos itu. Maka, jadilah mereka terlunta-lunta selama tujuh tahun.

***

Sewindu telah berlalu. Kini Poso mulai berbenah. Semangat pembangunan dan damai mulai menggeliat. Seperti di Pasar Sentral, suasana akrab meliputi penjual dan pembeli yang berlainan agama. Sementara itu, di Lawanga -–kawasan pantai di Teluk Poso, yang pada 2000 menjadi medan perang — Masjid Nurul Huda yang megah tengah dibangun. Sekitar 2 Km dari sana, di Lombogia, sebuah gereja pun tengah direnovasi.

Suasana kondusif memang mulai berjalan di Poso. Itu diakui oleh Ustadz Adnan Arsal. Menurut tokoh Islam terkemuka di Poso itu, keamanan saat ini cukup bagus. Namun jika tidak ada niat baik dari masyarakat dan pemerintah untuk menjaganya, Adnan tidak bisa menjamin situasi aman itu akan berlangsung lama.

Menurut pimpinan Pesantren Amanah Poso itu, salah satu cara untuk menjaga situasi tetap kondusif adalah: Pemerintah harus ”menindak secara hukum para pelaku kejahatan kemanusiaan yang sekarang masih berkeliaran di Poso,” katanya, tegas.

Sedikit berbeda dengan Adnan Arsal, Pendeta Ishak Pole Msi dari Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) menekankan perlunya penangangan serius para pengungsi. Menurut alumni Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) itu, pengabaian kepentingan para pengungsi bisa jadi berpotensi menumbuhkan akar baru konflik. “Pemberian tempat tinggal dan penanganan psikologis wajib dilaksanakan secepatnya oleh pemerintah,” ujarnya.

Sekadar informasi, dalam catatan Dinas Sosial Kabupaten Poso sampai hari ini, ada sekitar 4.325 keluarga yang masih menjadi pengungsi di seantero Sulawesi Tengah. Sebagian besar dari mereka tersebar di kawasan Poso, Tentena hingga Pamona.

Kembali ke Sayo. Menjelang petang, Victor dan Abdullah baru saja pulang dari kota. Mereka mendekati saya, yang tengah menikmati secangkir kopi di sebuah kedai pinggir kampung. Mereka juga lantas memesan masing-masing secangkir kopi, bergabung dengan saya dan beberapa orang kampung lainnya. Sambil menyeruput kopi pahit yang masih mengepulkan asap harum, mereka bercanda dan tertawa. Laiknya bersaudara. “Ya, enak begini. Buat apa kitorang bakale? Cuma cari susah saja,” kata Victor.

Malam datang menjemput senja. Beberapa saat terdengar suara azan magrib bersipongan dari sebuah masjid kecil di Sayo. Abdullah,saya dan beberapa lelaki tua bergegas ke arah masjid sederhana di tengah kampung. Sementara, dalam kawalan simponi binatang malam, Victor menapaki batas kampung, kembali pulang ke Bukit Bambu. Suasana terasa tenang dan damai. HENDI JOHARI

0 komentar:

Posting Komentar

 
hendi johari © 2008. Design by Pocket